What If

“Lo ngapain Jo sesenggukan kayak gitu?”
Itu Joana. Tangannya merapat dibarisan giginya. Sembab matanya. Ingusnya pun ikut menjalar keluar masuk hidung. Tidak biasanya dia menangis seperti itu.

Hwaaaa, Mar. Hong Hae In, Mar dia hilang ingatan, hwaaaaa. Masa wajah Eun Song dia kira wajah suaminya, hiksss. Sedih banget. Gue juga kesel tuh sama si Eun Seong bisa-bisanya ada cowok kayak dia ga bener, manipulaif, red flag, kesel kan gue jadinya.”

Tunggu, kenapa lenganku bisa digigit semut?

Cuit! Cuit! Cuit!

“Eh, buset, sakit Jo!” Aku mengerang kesakitan sebab tangan Jo meremas lenganku dan kukunya yang tajam mulai mencubit lengan gagahku.

“Hehehe, sorry. Habisnya Loe mirip si Eun Seong sih nyebelin bikin kesel.”

Apalah itu si Eun Seong aku tak paham sama sekali dengan segala ceritanya. Aku hanya menyimak perdramaan yang sudah ditonton Joana beberapa hari ini. Cuman hari ini anak tengil itu sedikit emosional.

“Tapi ya Mar? Gue jadi mikir deh. Kalau nanti gue hilang ingatan tiba-tiba. Terus pikiran gue ambang kesana kemari ngga bisa bedain hal disekitar gue, kira-kira sapa ya yang gue inget?”

Pertanyaannya begitu konyol. Joana terlalu sering nonton drama korea yang tidak masuk akal divisualisasikan dalam kenyataan. Aku menggelengkan kepala sambil terkekeh.

“Ada-ada aja sih, Jo. Ingatanmu pasti aman-aman aja. Jangan terlalu terpengaruh sama drama-dramamu itu!”

Joana mendengus, tapi senyumannya tidak bisa disembunyikan.

“Yaaa, siapa tahu.”

“Huftt. Udah udah. Jadi, liputan gak nih kita?

Mendengarku, raut wajah Joana berubah. Joana menamatkan dramanya dan menatapku dengan ekspresi yang begitu seriusnya. Pasti ini menyangkut isu yang kami usut baru-baru ini. Dari begitu banyaknya anggota pers di kampus hanya kami yang mati-matian menyelidikinya.

“Kasus pelecehan itu ternyata ada bukti. Barusan gue dapat emailnya. File rekaman cctv.”

Mataku terbelalak kaget. Sebagai sesama perempuan, aku mengerti Joana pasti sulit untuk membuka rekaman itu. Walaupun lagak lakunya tidak mencerminkan perempuan, tapi hatinya mudah luruh. Ia seorang yang perasa.

“Mau gue yang lihat?”

“Gue ga sanggup.”

Kasus ini, kasus pelecehan seksual oleh oknum dosen dengan jabatan tinggi di fakultas sebelah. Joana mendapat kabar ini dari teman satu kosnya yang kemudian mendorongnya untuk bertemu langsung dengan korban. Mendengarkan tragedi tragis korban membuat hati Joana ikut hancur. Korban telah melapor sesuai prosedur kampus, tetapi pihak kampus belum juga mengambil tindakan tegas.

Maka saat itu, Joana bertekad untuk memperjuangkan keadilan bagi korban melalui tulisan, meskipun beberapa anggota pers mahasiswa menentangnya karena kurang bukti, dan hanya sekadar kabar lalu lalang. Apalagi citra oknum dosen tersebut terlalu baik dimata semua orang. Sebab itu mereka mundur dan aku, bersama Joana, memilih untuk maju.

Dan akhirnya perjuangan kami membuahkan hasil dengan adanya file cctv ini.

Belum sempat menekan file tersebut, perhatianku teralihkan oleh sosok di luar kantor sekretariat yang mengetuk pintu. Suaranya terdengar lembut saat mengucapkan salam. Aku mendekati pintu dan membukanya. Wajah perempuan itu tidak asing. Matanya berbinar, hidungnya mancung dan bibirnya semerah ceri. Senyumannya lebar memperlihatkan setiap baris giginya yang rapi. Aku terkesima.

“Ah, Hil, datangnya cepat sekali. Ini masih jam tiga, lho.” Tiba-tiba Joana muncul disebelahku.

“Jam lima tiba-tiba ada kelas agama, Jo. Syukur deh kamu udah disini.”

“Oh iya, Mar. Kenalin Rahila yang bantu menangani korban.”

“Omar.” Aku mengulurkan tangan untuk berkenalan, tapi Rahila tak menyambutnya. Sebagai balasannya, Ia hanya menyatukan tangannya saja. Situasinya sedikit kikuk, dan akhirnya aku pura-pura memperbaiki rambutku yang sama sekali tidak berantakan.

“Eh, kita kayaknya sejurusan.” Aku hanya basa-basi.

Tapi, Rahila menanggapi.

“Iya, kita sekelas mata kuliah Politik Kemanan Internasional. Kamu kan kesayangan bu Intan sampai hafal beliau dengan namamu Bagus Omar Laksono.”

Aku tidak menyangka Rahila sememperhatiakanku begitu baiknya di kelas. Bahkan, aku tidak yakin bahwa Joana tahu nama lengkapku padahal kita sudah tiga tahun bersahabat.

Wajah Rahila begitu menenangkan. Bahkan yang bukan seagama pun terpikat. Teduh wajahnya bagai obat dikala peluh. Langsung minggat rasa lelah jika terus-terusan memandang Rahila. Semua inderaku rasanya berhenti berfungsi, kecuali penglihatanku. Aku jadi tidak fokus mendengarkan penjelasan Rahila mengenai penanganan organisasinya terhadap korban.

“Kami akan terus menjadi rumah untuk korban, kamu nggak perlu khawatir, Jo. Aku juga salut kamu sudah berani mengusut ini sampai kampus akhirnya menindaklanjuti kasusnya. Terima kasih juga, Omar, sudah bantuin Jo. Jarang sekali ada lelaki yang peduli dengan kasus seperti ini. Semoga Allah membalas kebaikan kalian berdua.”  Ucap Rahila sambari meraih tangan Joana dan menatapku.

Tanpa sadar kata amin pun terucap. Tuhan tempat kami meminta bisa berbeda, tetapi doa yang baik akan menuju pada kebaikan pula.

Rahila tidak lama di sekretariat. Setelah keperluannya selesai, ia beranjak.

“Ekhhmmm, ngelamun wae, Mar. BURUAN KETIK BERITANYA!” Cantiknya Joana memang tidak bisa disangkal, tetapi sesekali aku ingin menonjok wajahnya yang selalu bikin kesal.

“Ini lagi mikir, Joana, bukan ngelamun.”

“Yee bilang aja, Loe kepincut kan sama Rahila.”

“Suudzon aja Loe kerjaannya.”

“Terus, kenapa masih termenung duduk bersandar di dinding meratapi pintu?”

“Aghhh, dahlah capek.” Sementara, Joana masih sibuk ngomel-ngomel tak jelas, aku masih saja memandangi pintu.

“Kan, kan, kebayang wajah Rahila kan Loe? Cantik ya, Mar? Adem adem gimana gitu ya kalau lihat wajahnya? Iya kan?”

“Mana bener lagi. Kalau lihat wajah Loe kan berasa masuk neraka gue. “

Joana, selain petinju hebat, rupanya juga pelempar handal. Buktinya sekarang aku tengah mengeluh kesakitan karena buku yang dilemparnya tepat sasaran mengenai kepalaku.

Namun, disitu aku masih saja melamun, pikiran tentang pertanyaan konyol Joana terus mengganggu. Perihal hilang ingatan. Posisikan saja aku sedang kemalangan dan tiba-tiba hilang ingatan. Pasti aku langsung mencoba untuk mengingat-ngingat setiap bagian memori yang kupunya. Kalau bisa yang bagus-bagus. Dan kalau bisa juga Joana tidak boleh hilang diingatanku. Tertawanya, tatapan hangatnya, tingkah lakunya walau mengesalkan, jenakanya. Semua.

Dari awal bertemu hingga mengenalnya sampai sekarang, Joana tak hentinya membuatku kagum. Bagaimana tidak? Joana cantik, manis, baik, lucu, pekerja keras, bahkan berani menjadi garda terdepan membela keadilan. Tapi, ia terlalu tidak peka untuk menyadari betapa lamanya aku memendam semua kekagumanku hingga memupuknya menjadi rasa cinta.

“Eh, Jo. Gue jadi kepikiran deh.”

“Kepikiran apaan? Loe kepikiran dihilangkan gara-gara kasus ini?”

“Enggak, bukan. Soal pertanyaan Loe tadi.”

“Hah? Yang mana?”

Benar kata orang, orang cantik itu kekurangannya budeg plus pikun.

“Soal hilang ingatan tadi.”

“Yaelah, Loe bilang nggak usah diambil pusing eh taunya masih dipikirin aje.”

Lalu ia tertawa keras.

“Kalau Loe hilang ingatan, Jo. Gue mau yang Loe ingat adalah diri Loe sendiri.” Kata-kata itu keluar dari mulutku dengan kekhawatiran yang mendalam, mencerminkan ketulusan hatiku.

“Mar, nggak usah dibawa serius,” jawab Jo santai, tetapi aku bisa merasakan kebingungannya di balik kata-katanya.

“Gue pengen jadi orang yang membuat loe nyaman, Jo. Tapi lebih dari itu, gue ingin jadi orang yang loe percayai, yang loe ingat, bahkan saat loe lupa sama segalanya,” aku melanjutkan dengan nada yang penuh perasaan.

“Omar…”

“Aku sayang kamu, Jo.”

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai